Senin, 10 Februari 2014

Sulastri Sang Pedagang Gado-Gado Yang Bercita-Cita Tinggi


Perempuan berusia 52 tahun ini adalah sosok seorang ibu yang mempunyai cita-cita tinggi untuk mendidik kedua anaknya. Kehidupan yang serba berkecukupan, tak membuat perempuan yang berprofesi sebagai penjual “Gado-gado” ini lupa akan pentingnya sebuah pendidikan. Sulastri, begitu sapaan dari para pelanggannya, walau hanya tamat Sekolah Dasar tak menutupi pikirannya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan yang tinggi.
Keinginan yang keras demi melihat anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak dan mendapat sebuah ilmu yang akan menunjang pekerjaan adalah harapan besar untuk mewujudkan cita-citanya yang mulia tersebut.
Sedikit demi sedikit uang yang didapat dari bekerja dikumpulkannya. Dari uang itulah Sulastri dapat menyekolahkan kedua anaknya sampai ke perguruan tinggi. Kesadaran akan sebuah pendidikan yang utama membuat Sulastri banting tulang untuk mencukupi kebutuhan perkuliahan kedua anaknya yang dirasakannya memang sangat berat, namun Sulastri perempuan yang lahir di Nganjuk itu tak patah semangat, banyak tetangga-tetangganya yang mencibir keinginan keras Sulastri untuk menyekolahkan kedua anaknya ke pendidikan yang tinggi.
Kesulitan yang dialami bukan tak ada, biaya perkuliahan yang sekarang semakin tinggi membuat Sulastri sesekali hutang ke tetangganya untuk membayar biaya perkuliahan anak-anaknya. Sebuah perjuangan besar dan dibayar mahal oleh keberhasilan anak pertamanya yang berhasil lulus pada tahun 2006, harapan dan juga cita-cita tinggi oleh Sulastri masih menyisakan satu perjuangan besar yakni membiayai perkuliahan anaknya yang terakhir  yang masih di semester IV Universitas Mulawarman.
Kesuksesan dari sebuah perjuangan besar yang hanya dengan berjualan “Gado-gado” mampu mewujudkan cita-cita seorang Ibu, sekaligus untuk menyediakan pendidikan yang luar biasa untuk anak-anaknya. (ANGLI)

Contoh Feature Human Interest






Endang, Sang Pria Nomaden dari Cililin

Terik matahari yang menyengat kulit, tak jadi halangan untuk meneruskan pekerjaannya membuat alat-alat untuk kerangka bangunan dari kayu atau pun besi. Hanya sisa-sisa rasa lelah yang ada tergambar di raut wajah keriputnya, melangkah menuju warung di sudut kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang masih dalam proses pembangunan.
Sepiring nasi, segelas air teh manis hangat, bak surga bagi buruh bangunan yang sederhana ini. Begitu lahap menghabiskan makan siangnya Endang Saptaji (50) lelaki paruh baya asal Cililin, yang ditemui di sela waktu istirahatnya bekerja sebagai buruh proyek PT. Saluyu (25/3).
Sepak terjal angkuhnya roda kehidupan ini Endang lalui, tak hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang telah dijalani dari tahun 1983, sampingan kerja sebagai supir Elf pun jadi pilihannya yang baru 20 tahun ini dilakoni untuk menyambung hidup.
“Trong...trang...., trong...trang...”! teriakan besi terdengar sangat riuh dikawasan proyek yang menandai telah dimulainya aktivitas pembangunan sekitar pukul 08.00, badanya yang kecil berusaha mengumpulkan tenaga untuk menyusun kerangka besi sehingga tetesan keringat pun bercucuran membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Bekerja banting tulang seperti ini harus mampu Endang lakukan sampai pukul 22.00 WIB. Endang diberi upah kotor sebesar Rp.50.000/hari dan dipotong untuk makan jadi upah bersihnya sebesar Rp.25.000/hari. Setelah 2 minggu bekerja, barulah diberi upah Rp.400.000 sehingga bisa pulang dan memberikan nafkah untuk anak dan istri. “Kalau lembur bisa dapat sampai Rp.700.000, saya cuma tamatan SD ya inilah kerja yang bisa saya lakukan untuk keluarga,” kata Endang.
Setiap keluarga menginginkan untuk selalu bersama, beda halnya dengan keluarga Endang. Siap tidak siap, keluarganya harus rela untuk ditinggalkan. Pekerjaannya yang nomaden menuntut Endang untuk pergi ke beberapa kota seperti Aceh, Cibubur dan kota lainnya sehingga proyek itu selesai. Sangatlah berat, berbulan-bulan harus meninggalkan keluarga tercinta, rata-rata 3 bulan dan paling lama kerja selama 9 bulan waktu yang dihabiskan untuk bekerja baik itu di dalam kota atau pun luar kota.
Dari upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Endang selalu berusaha untuk menyisihkan uang bagi pendidikan anak-anaknya. 3 anaknya yang kini masih menyenyam pendidikan di SMP dan SD membutuhkan biaya yang cukup banyak. “ Saya hanya bisa terus berusaha dan berdo’a, insya Allah rezeki itu akan datang dengan sendirinya. Keinginan saya tidak muluk-muluk, saya ingin melihat anak-anak bisa mengenyam pendidikan, sholeh dan bisa berbakti pada orang tua,” tutur Endang.