Jumat, 17 Februari 2017

Pendidikan Kaum Tertindas (Paulo Freire)

Humanisasi merupakan fitrah manusia, fitrah inilah yang sering terlupakan dan dengan sengaja ditiadakan. Terlupakan dalam bentuk pengingkaran tersebutlah, justru humanisasi diakui dalam bentuk- bentuk perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum penindas yang nantinya memunculkan perjuangan para kaum tertindas untuk menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang. Perlakuan tidak manusiawi dari kaum penindas akan mendorong para kaum tertindas untuk bertindak dalam perjuangan melawan penindasan. Masalah utamanya adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi yang tidak membuat pola sesat ini terulang untuk sekian kalinya, dimana kaum tertindas yang nantinya bebas dari penindasan malah berbalik menjadi penindas.
Pendidikan yang membebaskan adalah pemecahannya dan diperlukan rekonsiliasi. Kontradiksi guru-murid harus dihapuskan, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid. Pendidikan layaknya tempat penabungan, dimana murid menjadi celengan dan guru adalah penabungnya Konsep pendidikan gaya bank menjadikan murid sebagai benda dan gampang diatur, dengan begitu akan mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas. Konsep pendidikan gaya bank cenderung membedakan dua tahap kegiatan seorang pendidik, dimana guru mengamati sebuah objek lalu menceritakan kembali kepada murid tanpa melibatkan murid secara aktif dalam proses pengamatan objek tersebut.
Metode pendidikan hadap-masalah merupakan sikap revolusioner terhadap masa depan, dalam konsep ini murid bukanlah orang yang tertidas, mereka secara aktif dan sadar ikut serta dalam kegiatan belajar.
Pendidikan yang sejati tidak berjalan masing-masing, tetapi bersama-sama dan berdampingan. Berlawanan dengan konsep “tabungan” yang anti dialogis dan tidak komunikatif, isi program hadap masalah yang dialogis terdiri dari dan disusun menurut pandangan dunia para murid.
Anti dialogis adalah keharusan adanya penaklukan, setiap tindak penaklukan melibatkan seorang penakluk dan seseorang atau sesuatu yang ditaklukan. Pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya, dalam hal ini serangan budaya merupakan tindakan lanjut dari memcah dan memanipulasi. Secara sadar penindas akan dengan sengaja memaksakan pemikirannya dan menghiraukan kemampuan atau potensi budaya dari orang lain atau kelompok lain. Kita harus sadar bahwasannya pendidikan bukanlah suatu yang netral, tetapi berpihak pada kepentingan kaum tertentu. Jadilah kebudayaan mereka yang secara dogma dan doktrin di paksakan kepada kaum minoritas, kaum yang secara sadar dirinya ditindas oleh kaum tertentu haruslah angkat senjata dengan gerakan revolusionar yaitu tindakan dialog.
Sebuah resume buku "Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas "


POLITIK YANG MEMBUNUH

Politik yang Membunuh
Kearifan politik, seperti itulah risalah, seperti itulah sebutannya. Kearifan Politik ini semakin punah dalam kehidupan kita. Pada kehidupan sehari-hari, kita disuguhi tontonan politik yang "membunuh". Inilah tipe politik yang secara umum dikendalikan oleh elite politik yang bernafsu untuk selalu berkuasa "The will to power", maaf jika tulisan bahasa Inggris-ku salah. Dengan hasrat utama untuk menguasai yang lain, "The will to dominate the others" dengan cara-cara yang tidak beradab.
Itu dapat kita sebut dengan rakyat biasa, misalnya, yang seringkali dipakai sebagai objek untuk basis mobilitas dan modal politik di kalangan elite politik. Politisi hanya mau dekat dan mendekati rakyat manakala ada kepentingan dan hajatan politik. Mereka datang ke rakyat sambil menebar pesona dan janji yang menggiurkan. Uang pun disebarkannya. Rayuan materi dibagi secara gratis. Semua itu modal politik, dengan harapan akan terlunasi manakala menjadi pejabat. Dan, dicampakkan dari denyut nadi kehidupan politik. Sesaat setelah menjabat, elite politik lebih disibukkan pada kegiatan menghimpun modal politik yang hilang. Partai, tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik.
Di luar daripada itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elite. Jika akhir-akhir ini merebak gejala apatisme terhadap partai politik, rakyat mulai sadar diri bahwa selama ini aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elite partai hampir tak berfungsi dan mengungsikan diri. Setelah hajatan politikh usai, elite partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan itu tadi, "Oligarkis" kata Jeffrie Geovanie dalam bukunya.
Inilah jenis-jenis kekuasaan yang lebih menguntungkan sekelompok elite partai, yang kesetiaannya pada rakyat terputus manakala hajatan politik selesai. Kearifan politik elite kita benar-benar hilang. Di samping tidak mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya, politik lebih dijalankan secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi, sarat fitnah.
Nilai tolerasi dan kepercayaan menjadi teralienasi dari kehidupan politik kita. Politik malah diartikan sebagai seni mengejar dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun. Elite tiba-tiba merasakan kekuatan yang luar biasa jika harus kehilangan kekuasaan. Kekuasaan yang sering kali dikampanyekan secara retoris sebagai amanat Tuhan, pada praktiknya, dipuji-puji dan dijadikan tujuan hidup itu sendiri. Elite terbiasa mabuk akan popularitas.
Lebih tragisnya lagi, menjadi pejabat diartikan sebagai orang yang dilayani, bukan melayani, dan orang yang dimuliakan, bukan memuliakan. Politik bermuara pada uang. Tak dapat dipungkiri, uang seringkali dipakai menjadi panglima, dan jaringan kolusi menjadi mafia politik. Karena itu, di hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 tahun ini, saatnya kita mengetuk kesadaran politik pada diri kita sendiri, pertama-tama untuk introspeksi, refleksi, dan otokritik secara internal; sudahkah kita mengemban amanat kearifan dalam berpolitik? Ada banyak hal yang perlu kita refleksi di kehidupan yang semakin keras pertarungan pemikiran hari ini, di antaranya, kita harus melawan bangsa kita sendiri, baik secara teori maupun fisik.
Tidak salah jika hari ini banyak yang mengatakan bahwa Indonesia 1/2 merdeka, sebab jika melihat di berbagai per-kotak-an kota, masih banyak yang belum merasa dimerdekakan. Namun demikian, demi sebuah penghormatan kepada para pahlawan Republik Indonesia yang begitu gigih dalam memperjuangkan Indonesia, yang rela meninggalkan istri dan anak-anaknya, keluarga yang dicintainya, semuanya dikorbankan, sekalipun nyawanya, demi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


PERSOALAN DAN ISI HATIKU

Menandang status sebagai sarjana dari perguruan tinggi adalah impian setiap orang. Namun tidak semua orang dapat meraih impian tersebut karena terkendala dengan berbagai persoalan. Salah satu faktor adalah meningkatnya biaya pendidikan yang ditenggarai dengan kualitas pendidikan yang mengikuti tuntutan dan perkembangan zaman.
Ditengah meningkatnya berbagai permasalahan tersebut, tidak membatasi sebagaian pegiat pencari ilmu untuk menggapai impiannya ditengah-tengah penderitaan tanpa mengenal status dan umur. Salah satu pegiat ilmu tersebut adalah saya, yang adalah salah satu mahasiswa yang menyandang status sebagai pegiat ilmu yang sedang menyelesaikan tugas akhir alias skripsi. Status mahasiswa tugas akhir bukan berarti semua sudah selesai dan tidak ada masalah, tetapi di sinilah berbagai permasalahan datang silih berganti.
Ditengah proses mengerjakan tugas saya mengalami banyak persoalan, pertama; terbatasnya ruang komunikasi dosen pembimbing skripsi, sehingga membuat semua rencana tidak tercapai, kedua; hasil olah data saya dikatakan kurang lengkap dan disuruh bertemu salah satu mahasiswa yang sudah selesai pendadaran skripsi. Setelah saya lakukan apapun yang diminta oleh dosen pembimbing eehh...ternyata hasil olah data mahasiswa tersebut tidak jauh beda dengan punya saya. Saya harus mengadu kepada siapa? Apakah kepada Tuhan?, ketiga; ditengah kedua masalah tersebut di atas yang lebih lagi adalah kebijakan Bupati baru di daerah yang membuat semua mahasiswa asal Kabupaten Pegunungan Bintang bagaikan anak ayam kehilangan induknya, karena kami adalah mahasiswa yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang. Data basec 2017 menunjukan 456 mahasiswa terlantar di pulau jawa karena terkendala dengan biaya pendidikan, tempat tinggal, biaya makan, dll.

Permasalahan tersebut di atas inilah yang membuat saya tidak bisa menyelesaikan tugas akhir saya sampai bulan pebruari tahun 2017 ini. Bukan berarti saya menyerah, semangat yang disertai cinta dan harapan yang tumbuh mendarah daging membuat saya tetap mengerjakan tugas akhir. Semoga satu bulan ke depan saya dapat menggapai apa yang saya impikan yaitu menyandang gelar Sarjana Pendidikan. 

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH

Pendidikan adalah hak asasi manusia yang sekaligus sarana untuk merealisasikan HAM lainnya. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa dan anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk turut terlibat dalam komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam rangka memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual, dan mempromosikan HAM dan demokrasi.
Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam hal dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk memenuhi mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
Komitmen bangsa Indonesia terhadap pendidikan dengan sangat jelas tercermin pada konstitusi negara, UUD 45, khususnya Pasal 31, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Ayat 1) dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya (Ayat 2). Skema pembiayaan pendidikan oleh pemerintah tersebut diatur pada ayat 4 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu, pada ayat 5 juga ditegaskan bahwa pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Landasan konstitusional komitmen pendidikan inilah yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat yang terbaik bagi sistem pendidikan nasionalnya melalui berbagai kebijakan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan, termasuk kebijakan otonomi daerah.
Kebijakan Otda memang merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh, tetapi pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di dalamnya. Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, adalah salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah sehingga kebijakan Otda tidak hanya menjadi titik tolak reformasi bidang sosial dan politik, tetapi juga menjadi titik tolak reformasi sistem pendidikan nasional. Tokoh-tokoh reformasi telah menjadikan kebijakan Otda sebagai titik tolak bagi bangsa Indonesia untuk membangkitkan kembali kesadaran bangsa ini akan arti penting pendidikan bagi upaya membangun tatanan kehidupan bangsa yang lebih bermutu, demokratis, dan berdaulat agar dapat merespons tiga isu utama yang dihadapi oleh bangsa ini dalam memasuki abad dua puluh satu, yaitu meningkatkan keamanan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memberdayakan pendidikan sebagai komponen krusial dalam pembangunan sumber daya manusia.
Ada tiga faktor utama yang menghambat upaya rekonstruksi kultural dan renovasi sistem pendidikan nasional sesudah proklamasi kemerdekaan.
1.         Lambatnya kegiatan memodernisasi sistem politik untuk menjadi lebih dewasa dan otonom. Sistem politik ini menentukan sangat lambatnya corak kebijakan pendidikan yang cocok bagi bangsa kita yang baru mencapai kemerdekaan.
2.         Sulitnya mengubah mental kebanyakan pemimpin kita yang lama mengalami proses penindasan dan tekanan di zaman kolonial. Yaitu dari kebiasaan bergantung/dependensi, diserai kompleks minder dan keraguan, kecemasan dan ketakutan akan kemerdekaan diri sendiri.
3.         Sulitnya membangkitkan élan perjuangan penuh vitalitas dan daya kreatif massa rakyat guna membangun, disebabkan oleh pengalaman historis di masa lampau dan sekarang (misalnya oleh kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan; apatisme, kurang percaya diri, skeptisisme, fatalisme, sikap kurang percaya pada banyak pemimpin, dan lain-lain).
Semua harapan, tujuan, dan target pembangunan pendidikan di era otonom daerah diharapkan terwujud melalui empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional sebagaimana diuraikan satu per satu berikut ini.
Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan. Semua warga negara Republik Indonesia diberi akses pendidikan yang sama, apa pun tingkat ekonomi mereka, di mana pun tempat tinggal mereka, dan apa pun latar belakang sosial mereka.
Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan. Salah satu konsep yang digunakan dalam penetapan strategi ini adalah konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara materi ajar (curriculum content) dengan kebutuhan di lapangan (job market). Penerapan konsep link and match diharapkan dapat melahirkan para lulusan yang memiliki jenis ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja sehingga ketika lulus mereka “siap bekerja”. Namun, ada kecenderungan dikalangan praktisi pendidikan untuk memahami bahwa yang dibutuhkan oleh para lulusan pendidikan adalah ketrampilan kerja. Semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan diarahkan pada upaya pemberian ketrampilan kerja kepada peserta didik, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek non ketrampilan, seperti kepribadian dan etika. Akibatnya, banyak para lulusan tersebut terampil bekerja, tetapi kurang memiliki kepribadian dan sikap yang diperlukan untuk sukses bekerja. Banyak di antara mereka yang sangat terampil dan penuh Dedikasi dalam bekerja, tetapi kurang memiliki moralitas kerja yang baik.
Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan. Penerapan strategi ini dimulai pada jenjang sekolah dasar, yaitu dengan mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) dengan pendekatan gugus sekolah. Tiga hingga delapan sekolah dasar yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus, lalu salah satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti dan yang lainnya menjadi sekolah imbas.
Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hingga tahun 1998 atau saat runtuhnya rezim orde baru, program pembangunan pendidikan lebih terfokus pada aspek kuantitas. Pada era otonomi daerah, program-program pembangunan pendidikan sudah mulai terfokus pada aspek kualitas, relevansi, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan aspek kuantitas. Lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi didorong untuk mengembangkan program-programnya secara sangat efisien.
Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi, berbagai kebijakan pengelolaan pendidikan di era Otda menekankan sinergi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya berkewajiban “mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 10 UU Nomor 20 Tahun 2003); “memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi” (Pasal 11 ayat 1); “menjamin tersedianya dana guna Terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” (Pasal 11 ayat 2); ”memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin Terselenggaranya pendidikan yang bermutu” (Pasal 41 ayat 3); “menjamin Terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Pasal 34 ayat 2); “membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 44 ayat 1); dan ”membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (Pasal 44 ayat 3).
Kebijakan pada era Otda juga menekankan pentingnya domain lokal dalam pengembangan program-program pendidikan. Ditegaskan pada Pasal 50ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa “pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengolah satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Sejalan dengan kewajiban ini, pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan dapat bersinergi dalam melengkapi sarana dan prasarana pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi kinerja dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat” (Pasal 14). Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan berperan sebagai motivator, stimulator, dan fasilitator perkembangan ilmu pengetahuan di daerah. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 menegaskan sebagai berikut : ” Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”.
Peran dan fungsi pemerintah daerah dalam membangun keunggulan lokal dalam dunia pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah benar-benar diperluas. Pemerintah daerah “wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002). Pemerintah daerah “harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi” serta “membentuk Dewan Riset yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002). Berbagai kewajiban pemerintah daerah tersebut juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa salah satu urusan wajib pemerintah provinsi adalah “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial” (Pasal 13) dan salah satu urusan wajib pemerintah kabupaten dan kota adalah “Penyelenggaraan pendidikan” (Pasal 14).
Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan di daerahnya memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat khususnya masyarakat di daerahnya. Dengan tercapainya tingkat pendidikan yang tinggi di suatu daerah akan berimplikasi pada berkembangnya pembangunan di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa dengan dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan berjalan searah dengan tingginya sumberdaya manusia di daerah tersebut. Karena dalam hal ini dalam pembangunan selain sumber daya alam diperlukan juga sumber daya manusia yang tinggi.
Pembangunan di daerah merupakan tanggung jawab masyarakat di daerahnya baik dengan mengelola sumber daya alam maupun meningkatkan sumberdaya manusia, dalam hal ini melalui pendidikan. Semua ini akan dapat tercapai ketika pemerintah daerah sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan rumah tangga daerahnya memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam hal peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan. Untuk itu pemerintah daerah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan.

AKU ADALAH ORANG BEBAL


Paling sulit memeriksa kesalahan diri adalah ketika kita masih tetap dalam pendirian bahwa kita melakukan semuanya dengan benar. Ketika kita selalu melakukan pembelaan terhadap semua kesalahan yang pernah dibuat, sebenarnya kita telah mengubur semua kesalahan pada diri kita. Tidak ada kesalahan yang pernah dibuat, tak ada kekeliruan dalam segala proses yang kita jalanani, dan untuk mewujudkan mimpi ideal di masa mendatang, tak ada yang perlu diperbaiki kecuali bahwa kita harus terus menempuh jalan yang selama ini telah ditempuh. Ini sebuah bentuk kebebalan luar biasa. Bahwa kita masih tak bergeming dengan apa yang kita lakukan. Yakni kita adalah orang benar.
Pemikiran semacam ini berasal dari pola berpikir yang sempit, tapi kita pandang sebaliknya. Kian hari kita menganggap semakin dewasa, yang dengan sendirinya semakin sedikit pula kesalahan yang kita buat. Apa lagi ketika kedewasaan itu telah membuahkan hasilnya berupa kesuksesan dalam harta, kesuksesan dalam pergaulan, dan kesuksesan dalam berumahtangga. Dengan mengaggap bahwa kita semakin jarang dari kemungkinan berbuat salah, justru saat itulah kita lengah, dan merupakan pintu yang terbuka lebar untuk terjadinya kesalahan-kesalahan baru.
“Saya harus berubah menjadi lebih baik.” Pernyataan seperti itu mengandaikan adanya masa lalu yang tidak baik. Berubah ke arah yang lebih baik berarti meninggalkan arah yang buruk. Tetapi, bagaimana kita berubah kalau kita menganggap tidak ada kesalahan di sana. Tak ada sesuatu yang perlu diperbaiki dan dikoreksi. Kita tidak mungkin berubah dengan cara berpikir seperti itu.
Pertama-tama yang harus dilakukan, adalah bukan mencari kembali kesalahan yang selama ini telah diperbuat, akan tetapi mengakui bahwa selama ini kita tidak bisa lepas dari berbagai kesalahan. Artinya, kesalahan hidup kita telah banyak, hanya saja, sedikit dari kesalahan itu yang kita akui sebagai kesalahan yang sebenarnya. Intinya, kita tidak akan maju tanpa mengakui kesalahan, dan bukan dengan cara menemukan kesalahan.
Sama seperti hari ini, ketika aku mulai ragu terhadap semua argumentasi yang kubangun untuk membenarkan diriku ketika terjadi perselisihan dengan kekasihku. Melani, perempuan itu, selalu dengan sabar mendengarkan kemarahanku, seringkali dengan amat sabar hingga dia tidak mampu lagi meneteskan air mata. Jika aku mencari-mencari kesalahan dalam diriku, pastilah aku menemukan beberapa; bahwa aku sering marah besar untuk hal-hal kecil, bahwa aku sering memaksakana kehendak dan egoku, bahwa aku membungkus semua anggapan itu dengan argumen yang seolah-olah benar.
Kemarahanku padanya tanggal 2 Februari merupakan kemarahan terbesarku selama aku menjalani kehidupan dengannya. 1 Desember aku mengikat hubungan itu, dan hingga saat ini, aku telah 6 kali memarahi dia habis-habisan. Semuanya sama, untuk hal sepele yang seharusnya bisa kutahan.
Seperti biasa, dia selalu mengalah. Tidak berbuat apa, tetap dengan harapan yang terus dipelihara dalam hati lembutnya bahwa aku akan berubah menjadi lebih baik.
Setiap aku marah, aku memang merasakan penyesalan, jujur harus akui itu. Tapi kadang egoku berkomplot dengan logikaku untuk membikin alasan serasional mungkin agar kemarahan itu tidak tampak sebagai kesalahan. Bukan saja orang lain yang tertipu dengan cara ini, tapi diriku ikut tertipu juga. Maka, yang terjadi kemudian adalah serangkaian kemarahan yang tampak benar dan sah, sehingga diapun merasa kalau salah dan pantas dihukum olehku.
Muna, maafkan aku. Engkau wanita paling sabar karena selalu mengalah ketika aku marah, sementara kamu, tidak kupikirkan bagaimana hancurnya perasaan kamu waktu aku marah. Mafkan aku, maafkan aku. Ya Tuhan, bantulah aku mengubah diriku. Aku benar-benar butuh berubah...............
                                                                                  Alam Pembebasan 17/02/2017


REFLEKSI SATU TAHUN MASA KEPEMIMPINAN BUPATI KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG

REFLEKSI SATU TAHUN MASA KEPEMIMPINAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG PERIODE 2015-2020 KHUSUS PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

(Mau Di Bawa Kemana SDM Kabupaten Pegunungan Bintang)

Saya lahir dan dibesarkan di Pegunungan Bintang dan saya adalah orang asli Aplim Apom. Telah merasakan menjadi orang Pegunungan Bintang, dan merasa memiliki kota ini. Sebagai kaum muda yang peduli pada kota ini, saya merasa terpanggil untuk menulis sebuah catatan.

Catatan ini sebagai bentuk dukungan moril saya pada kepemimpinan Bupati dan Wakil bupati yang telah dilantik sejak 17 Pebruari 2016 silam berarti sudah 1 tahun. Pada bagian pertama dari catatan ini adalah terkait sektor pendidikan. Bagaimana kebijakan kongkrit Bupati dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), salah satunya perhatian terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Pegunungan Bintang yang sedang mengenyam studi di berbagai kota baik di Papua maupun luar Papua. 

Tekad dan Komitmen Bupati
Bupati kabupaten pegunungan bintang, dengan mengusung tema “ Gerakan perubahan” sudah tepat untuk ingin mengubah Pegunungan Bintang tetapi kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan tema tersebut. Banyak orang kecewa termasuk para PNS yang bekerja di seluruh SKPD kabupaten Pegunungan Bintang. Beberapa kesempatan Bupati membeberkan sejumlah perkataan dan perbuatan yang sudah mengecewakan semua kalangan. Salah satunya adalah pada saat pertemuan dengan perwakilan mahasiswa, Bupati menyatakan bahwa “ orang nomor satu di bumi Aplim Apom adalah saya dan di atas saya adalah Tuhan Allah” (baca, pertemuan perwakilan mahasiswa dan Pemda di ruang pertemuan Bupati, 14 April 2016). Juga dalam beberapa media maupun kesempatan yang sama katanya “Secara khusus kepada anak-anak muda di sekolah, di kampus, di jalanan, di terminal, di rumah, ketahuilah bahwa manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda. Mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua. Jadilah pelopor, bukan pengekor! Pemuda hendaknya tampil sebagai agen perubahan, minimal untuk pribadi Anda. Itu adalah tantangan Anda dan kita bersama untuk membangun kabupaten ini (Pegunungan Bintang) dan secara umum Papua.” 
Dari kutipan pernyataan di atas, saya melihat paling tidak bupati ingin menyampaikan beberapa hal, pertama; saya (Costan Oktemka) menjadi Bupati Pegunungan Bintang bukan untuk mencari harta kekayaan (secara tidak langsung berikan pernyataan tegas bahwa tidak akan melakukan tindakan korupsi), kedua; Papua, secara khusus Pegunungan Bintang dapat dibangun oleh orang-orang muda (baca: pemuda dan mahasiswa) yang memiliki SDM yang handal, ketiga; pemuda  dan mahasiswa dimanapun berada harus belajar dengan sungguh-sungguh, agar kedepannya dapat berpartisipasi dalam membangun Pegunungan Bintang, keempat; dengan belajar sungguh-sungguh, pemuda dan mahasiswa tentu mampu menjawab tantangan untuk Papua, dan Pegunungan Bintang secara khusus dikemudian harinya.
Saya kira sebuah pernyataan yang sangat baik, dan patut diacungkan jempol. Paling tidak bupati Pegunungan Bintang sudah menunjukan kemauan besar komitmen, tekad, serta kesungguhannya dalam membangun Pegunungan Bintang khususnya meningkatkan kecerdasan atau memajukan kualitas SDM masyarakat Pegunungan Bintang, khususnya lagi bagi pemuda dan mahasiswa.  
Dalam program pembangunan lima tahun ke depan Kabupaten Pegunungan Bintang, sektor pendidikan mendapat perhatian yang cukup. Pada berbagai media massa bupati Pegunungan Bintang menyatakan hal itu. Juga komitmen dirinya dalam peningkatan SDM masyarakat Pegunungan Bintang. Memang harus demikian, bahwa pendidikan perlu mendapat perhatian yang ekstra serius, karena ia tentu akan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, juga masyarakat Pegunungan Bintang. 

Kontras dengan Pernyataan
Tetapi, bagaimana jika pernyataan bupati Pegunungan Bintang di media, juga dalam berbagai pertemuan kontras dengan realitas di lapangan. Apakah seorang bupati telah berbohong? Humbar janji? Atau justru membangun opini publik agar ia dianggap peduli, dan juga memperhatikan sektor pendidikan? Kita akan lihat sama-sama apa yang kontras, dan sudah harus menjadi perhatian Bupati secepat mungkin.
Saya akan menunjukan beberapa fakta yang tentu dapat mengantarkan kita untuk pertanyakan komitmen dan tekad Bupati Pegunungan Bintang khususnya dalam sektor pendidikan, dan komitmennya dalam memajukan SDM Pegunungan Bintang, khususnya lagi perhatian Bupati untuk pemuda dan mahasiswa asal Pegunungan Bintang di berbagai kota studi. 
Hampir semua Bupati baik definitiv maupun karateker di wilayah Papua Tengah seperti Paniai, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya, puncak Jaya, Yahukimo, dll telah menunjukan tekad dan komitmen mereka dalam meningkat kualitas SDM. Mereka juga secara serius memperhatikan, dan juga memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswi mereka diberbagai kota studi termasuk di pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Kebijakan setiap kepala daerah tersebut benar-benar menjawab kebutuhan pendidikan untuk daerah, juga untuk pemuda dan mahasiswa mereka.
Komitmen keenam kepala daerah (baca: Bupati) di daerah-daerah tersebut di atas sudah terbukti,  ketika mereka mengirim team (baik dari pemerintah, juga legislatif) untuk mengunjungi seiap mahasiswa. Tujuan utama adalah memberikan dana akhir studi bagi mahasiswa semester akhir, mengurusi pemondokan (asrama mahasiswa atau kontrakan) serta memberikan dana pengembangan organisasi. 
Salah satu contoh adalah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Intan Jaya. Bupati Maximus Zonggonau bersama ketua DPRD, Manfred Sondegau, juga anggota DPRD yang membidangi pendidikan, kepala bagian kesejahteraan sosial, beserta bendahara daerah telah mengunjungi mahasiswa mereka di hampir semua daerah, juga termasuk di Jawa dan Bali. Mereka berhasil mendata nama-nama seluruh mahasiswa. Dan sekembalinya dari pendataan, biaya pemondokan, juga biaya pendidikan kepada tiap mahasiswa telah dikirimkan melalui nomor rekening. Cara ini dianggap cukup berhasil, walaupun kabar yang saya dapat, hanya baru 30% yang terealisasikan.
Pemda Dogiyai, Deiyai, yahukimo, puncak jaya dan Paniai juga melakukan cara yang sama. Telah mendatangi, melihat, serta langsung memenuhi kebutuhan tiap mahasiswa di setiap wilayah. Dengan kunjungan seperti itu, paling tidak mahasiswa telah merasakan benar-benar diperhatikan oleh Bupati, juga secara umum oleh Pemda. Tanggung jawab pemerintah daerah memang benar-benar harus di wujud nyatakan dengan tindakan kongkrit. Sebab, pemuda dan mahasiswa merupakan tulang punggung kemajuan sebuah daerah, yang tentu harus mendapatkan perhatian dan pembinaan. 

Bagaimana Dengan Pegunungan Bintang?
Nah, sekarang bagaimana dengan Kabupaten Pegunungan Bintang? Apakah bupati Pegunungan Bintang melakukan kebijakan yang sama dengan cara yang dilakukan beberapa Bupati yang telah disebutkan di atas? Atau juga ikut berpartisipasi dalam mendukung peningkatan kualitas SDM untuk kaum pemuda dan mahasiswa asal Kabupaten Pegunungan Bintang di setiap wilayah Indonesia? Jawabannya, sampai saat ini tidak ada dana pendidikan yang sampai pada mahasiswa bahkan dengar kabar terakhir bahwa anggaran pendidikan yang kelihatan sebanyak 16 milyar di bagi dua yaitu, 10 milyar akan dialihkan ke 277 desa di Pegunungan Bintang, dan 6 milyar di peruntukan untuk mahasiswa yang mempunyai nilai akademisnya baik. Diperparah lagi dengan kebijakan Bupati Pegunungan Bintang bahwa seluruh mahasiswa Pegunungan Bintang di seluruh Indonesia kembalikan kepada orang tua. Sementara Kabupaten Pegunungan Bintang baru berumur 14 tahun, dengan ini secara umum Kabupaten Pegunungan Bintang masih jauh tertinggal dan terendah di semua aspek termasuk penyiapan SDM.
Pertanyaannya, kemana larinya anggaran pendidikan dari semua sumber yang ada? Kabarnya, hingga genap satu tahun masa kepemimpinan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang ini tak nampak. Hampir semua mahasiswa asal Pegunungan Bintang baik yang berada di Papua juga di Jawa dan Bali terus mempertanyakan anggaran pendidikan tersebut, khususnya alokasi untuk pendidikan. Juga menagih “sebuah janji” terkait komitmen dan tekad dalam meningkatkan SDM masyarakat Pegunungan Bintang yang telah digembar-gemborkan Bupati Pegunungan Bintang saat ini. 
Padahal, kalau mau diamati lebih lanjut, Kabupaten Pegunungan Bintang adalah satu angkatan dengan Intan Jaya, Dogiyai, dan juga Deiyai. Pegunungan Bintang mendapat porsi anggaran yang lebih besar di seluruh kabupaten kota di propinsi papua. Termasuk dana untuk peningkatan SDM di sektor pendidikan.
Ini tentu menjadi pertanyaan besar untuk Bupati Pegunungan Bintang? Kenapa bisa demikian? Apakah memang dana pendidikan Pegunungan Bintang tidak  ada? Atau telah dialokasikan tetapi tidak tepat pada sasaran? Atau telah dialokasikan, tetapi disalurkan dengan bentuk dan cara yang berbeda? Saya sendiri tak mau menduga secara asal-asalan. Tetapi paling tidak Bupati harus memberikan penjelasan, juga pernyataan terkait hal ini. Hanya seorang Bupati yang bisa menjelaskan semuanya, apalagi saat ini Bupati memiliki kewenangan (kekuasaan) tertinggi melebihi kewenangan kepala dinas pendidikan sekalipun.
Kondisi mahasiswa asal Pegunungan Bintang di berbagai kota studi baik di Papua maupun Jawa dan Bali saat ini seperti anak ayam kehilangan induk. Bingung kepada siapa harus berharap, juga kepada siapa harus bertanya. Bahkan yang lebih miris lagi, hampir semua mahasiswa asal Pegunungan Bintang menumpang tinggal di setiap kontrakan atau asrama dari pemda Paniai, Dogiyai, Deiya, atau  Intan Jaya. Tentu ini sebuah fakta yang sangat menggenaskan.

Anggaran Pendidikan
Dari salah satu sumber terpercaya menyatakan bahwa jumlah dana pendidikan yang telah dianggarkan untuk Pegunungan Bintang di tahun 2017 adalah 16 milyar. Ini tentu tidak mengherankan, sebab misalkan Kabupaten Dogiyai saja, untuk tahun anggaran 2016 pemerintah daerah setempat telah anggarkan sebanyak 8 milyar (Papua Post Nabire, 06 April 2016). Tentu tidak mengherankan jika kabupaten yang telah memiliki Bupati definitif seperti Pegunungan Bintang mendapat anggaran yang begitu besar. 
Sikap seorang Bupati yang pandai “membual” lewat berbagai pernyataan di media massa, tentu harus dipertanggung jawabkan. Jika tak punya niat baik, atau tidak serius dalam meningkatkan kualistas SDM, termasuk membantu pemuda dan mahasiswa di berbagai kota studi di Indonesia, maka tak harus berkomentar sembarang. Pernyataan yang tak benar di media massa tentu menjadi bumerang bagi Bupati sendiri, juga untuk jenjang karirnya dikemudian hari. 
Lebih baik diam dan bekerja, dan menunjukan fakta kerja di lapangan, dari pada memberikan berbagai pernyataan, tapi tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Ini tentu menunjukan siapa seorang Bupati, dan sejauh mana integritas yang dimiliki. Memang benar, bahwa genap satu tahun memerintah, tapi perlu diingat juga, satu tahun bukan merupakan waktu yang singkat untuk memaksimalkan semua sektor, secara khusus sektor pendidikan. 

“Hanya Sumber Daya Manusia yang Terampil dan Produktif dapat Menjawab Tantangan dan Menyelesaikan Masalah” (B.J, Habibie).