Endang,
Sang Pria Nomaden dari Cililin
Terik matahari yang menyengat kulit, tak jadi halangan untuk
meneruskan pekerjaannya membuat alat-alat untuk kerangka bangunan dari kayu
atau pun besi. Hanya sisa-sisa rasa lelah yang ada tergambar di raut wajah
keriputnya, melangkah menuju warung di sudut kampus UIN Sunan Gunung Djati
Bandung yang masih dalam proses pembangunan.
Sepiring nasi, segelas air teh manis hangat, bak surga bagi
buruh bangunan yang sederhana ini. Begitu lahap menghabiskan makan siangnya
Endang Saptaji (50) lelaki paruh baya asal Cililin, yang ditemui di sela waktu
istirahatnya bekerja sebagai buruh proyek PT. Saluyu (25/3).
Sepak terjal angkuhnya roda kehidupan ini Endang lalui, tak
hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang telah dijalani dari tahun 1983,
sampingan kerja sebagai supir Elf pun jadi pilihannya yang baru 20 tahun ini
dilakoni untuk menyambung hidup.
“Trong...trang...., trong...trang...”! teriakan besi
terdengar sangat riuh dikawasan proyek yang menandai telah dimulainya aktivitas
pembangunan sekitar pukul 08.00, badanya yang kecil berusaha mengumpulkan
tenaga untuk menyusun kerangka besi sehingga tetesan keringat pun bercucuran
membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Bekerja banting tulang seperti ini harus
mampu Endang lakukan sampai pukul 22.00 WIB. Endang diberi upah kotor sebesar
Rp.50.000/hari dan dipotong untuk makan jadi upah bersihnya sebesar
Rp.25.000/hari. Setelah 2 minggu bekerja, barulah diberi upah Rp.400.000
sehingga bisa pulang dan memberikan nafkah untuk anak dan istri. “Kalau lembur
bisa dapat sampai Rp.700.000, saya cuma tamatan SD ya inilah kerja yang bisa
saya lakukan untuk keluarga,” kata Endang.
Setiap keluarga menginginkan untuk selalu bersama, beda
halnya dengan keluarga Endang. Siap tidak siap, keluarganya harus rela untuk
ditinggalkan. Pekerjaannya yang nomaden menuntut Endang untuk pergi ke beberapa
kota seperti Aceh, Cibubur dan kota lainnya sehingga proyek itu selesai.
Sangatlah berat, berbulan-bulan harus meninggalkan keluarga tercinta, rata-rata
3 bulan dan paling lama kerja selama 9 bulan waktu yang dihabiskan untuk
bekerja baik itu di dalam kota atau pun luar kota.
Dari upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, Endang selalu berusaha untuk menyisihkan uang bagi pendidikan
anak-anaknya. 3 anaknya yang kini masih menyenyam pendidikan di SMP dan SD
membutuhkan biaya yang cukup banyak. “ Saya hanya bisa terus berusaha dan
berdo’a, insya Allah rezeki itu akan datang dengan sendirinya. Keinginan saya tidak
muluk-muluk, saya ingin melihat anak-anak bisa mengenyam pendidikan, sholeh dan
bisa berbakti pada orang tua,” tutur Endang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar