Jumat, 17 Februari 2017

POLITIK YANG MEMBUNUH

Politik yang Membunuh
Kearifan politik, seperti itulah risalah, seperti itulah sebutannya. Kearifan Politik ini semakin punah dalam kehidupan kita. Pada kehidupan sehari-hari, kita disuguhi tontonan politik yang "membunuh". Inilah tipe politik yang secara umum dikendalikan oleh elite politik yang bernafsu untuk selalu berkuasa "The will to power", maaf jika tulisan bahasa Inggris-ku salah. Dengan hasrat utama untuk menguasai yang lain, "The will to dominate the others" dengan cara-cara yang tidak beradab.
Itu dapat kita sebut dengan rakyat biasa, misalnya, yang seringkali dipakai sebagai objek untuk basis mobilitas dan modal politik di kalangan elite politik. Politisi hanya mau dekat dan mendekati rakyat manakala ada kepentingan dan hajatan politik. Mereka datang ke rakyat sambil menebar pesona dan janji yang menggiurkan. Uang pun disebarkannya. Rayuan materi dibagi secara gratis. Semua itu modal politik, dengan harapan akan terlunasi manakala menjadi pejabat. Dan, dicampakkan dari denyut nadi kehidupan politik. Sesaat setelah menjabat, elite politik lebih disibukkan pada kegiatan menghimpun modal politik yang hilang. Partai, tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik.
Di luar daripada itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elite. Jika akhir-akhir ini merebak gejala apatisme terhadap partai politik, rakyat mulai sadar diri bahwa selama ini aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elite partai hampir tak berfungsi dan mengungsikan diri. Setelah hajatan politikh usai, elite partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan itu tadi, "Oligarkis" kata Jeffrie Geovanie dalam bukunya.
Inilah jenis-jenis kekuasaan yang lebih menguntungkan sekelompok elite partai, yang kesetiaannya pada rakyat terputus manakala hajatan politik selesai. Kearifan politik elite kita benar-benar hilang. Di samping tidak mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya, politik lebih dijalankan secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi, sarat fitnah.
Nilai tolerasi dan kepercayaan menjadi teralienasi dari kehidupan politik kita. Politik malah diartikan sebagai seni mengejar dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun. Elite tiba-tiba merasakan kekuatan yang luar biasa jika harus kehilangan kekuasaan. Kekuasaan yang sering kali dikampanyekan secara retoris sebagai amanat Tuhan, pada praktiknya, dipuji-puji dan dijadikan tujuan hidup itu sendiri. Elite terbiasa mabuk akan popularitas.
Lebih tragisnya lagi, menjadi pejabat diartikan sebagai orang yang dilayani, bukan melayani, dan orang yang dimuliakan, bukan memuliakan. Politik bermuara pada uang. Tak dapat dipungkiri, uang seringkali dipakai menjadi panglima, dan jaringan kolusi menjadi mafia politik. Karena itu, di hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 tahun ini, saatnya kita mengetuk kesadaran politik pada diri kita sendiri, pertama-tama untuk introspeksi, refleksi, dan otokritik secara internal; sudahkah kita mengemban amanat kearifan dalam berpolitik? Ada banyak hal yang perlu kita refleksi di kehidupan yang semakin keras pertarungan pemikiran hari ini, di antaranya, kita harus melawan bangsa kita sendiri, baik secara teori maupun fisik.
Tidak salah jika hari ini banyak yang mengatakan bahwa Indonesia 1/2 merdeka, sebab jika melihat di berbagai per-kotak-an kota, masih banyak yang belum merasa dimerdekakan. Namun demikian, demi sebuah penghormatan kepada para pahlawan Republik Indonesia yang begitu gigih dalam memperjuangkan Indonesia, yang rela meninggalkan istri dan anak-anaknya, keluarga yang dicintainya, semuanya dikorbankan, sekalipun nyawanya, demi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Tidak ada komentar: