Politik yang Membunuh
Kearifan politik, seperti itulah risalah, seperti itulah sebutannya.
Kearifan Politik ini semakin punah dalam kehidupan kita. Pada kehidupan
sehari-hari, kita disuguhi tontonan politik yang "membunuh". Inilah
tipe politik yang secara umum dikendalikan oleh elite politik yang bernafsu
untuk selalu berkuasa "The will to power", maaf jika tulisan bahasa
Inggris-ku salah. Dengan hasrat utama untuk menguasai yang lain, "The will
to dominate the others" dengan cara-cara yang tidak beradab.
Itu dapat kita sebut dengan rakyat biasa, misalnya, yang seringkali dipakai
sebagai objek untuk basis mobilitas dan modal politik di kalangan elite
politik. Politisi hanya mau dekat dan mendekati rakyat manakala ada kepentingan
dan hajatan politik. Mereka datang ke rakyat sambil menebar pesona dan janji
yang menggiurkan. Uang pun disebarkannya. Rayuan materi dibagi secara gratis.
Semua itu modal politik, dengan harapan akan terlunasi manakala menjadi
pejabat. Dan, dicampakkan dari denyut nadi kehidupan politik. Sesaat setelah menjabat,
elite politik lebih disibukkan pada kegiatan menghimpun modal politik yang
hilang. Partai, tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan
politik.
Di luar daripada itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat
dan melanggengkan kekuasaan oligarki elite. Jika akhir-akhir ini merebak gejala
apatisme terhadap partai politik, rakyat mulai sadar diri bahwa selama ini
aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula
disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elite partai
hampir tak berfungsi dan mengungsikan diri. Setelah hajatan politikh usai,
elite partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan itu
tadi, "Oligarkis" kata Jeffrie Geovanie dalam bukunya.
Inilah jenis-jenis kekuasaan yang lebih menguntungkan sekelompok elite
partai, yang kesetiaannya pada rakyat terputus manakala hajatan politik
selesai. Kearifan politik elite kita benar-benar hilang. Di samping tidak
mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya, politik lebih dijalankan
secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi, sarat fitnah.
Nilai tolerasi dan
kepercayaan menjadi teralienasi dari kehidupan politik kita. Politik malah
diartikan sebagai seni mengejar dan mempertahankan kekuasaan dengan cara
apapun. Elite tiba-tiba merasakan kekuatan yang luar biasa jika harus
kehilangan kekuasaan. Kekuasaan yang sering kali dikampanyekan secara retoris
sebagai amanat Tuhan, pada praktiknya, dipuji-puji dan dijadikan tujuan hidup
itu sendiri. Elite terbiasa mabuk akan popularitas.
Lebih tragisnya lagi, menjadi pejabat diartikan sebagai orang yang
dilayani, bukan melayani, dan orang yang dimuliakan, bukan memuliakan. Politik
bermuara pada uang. Tak dapat dipungkiri, uang seringkali dipakai menjadi
panglima, dan jaringan kolusi menjadi mafia politik. Karena itu, di hari
kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 tahun ini, saatnya kita mengetuk
kesadaran politik pada diri kita sendiri, pertama-tama untuk introspeksi,
refleksi, dan otokritik secara internal; sudahkah kita mengemban amanat
kearifan dalam berpolitik? Ada banyak hal yang perlu kita refleksi di kehidupan
yang semakin keras pertarungan pemikiran hari ini, di antaranya, kita harus
melawan bangsa kita sendiri, baik secara teori maupun fisik.
Tidak salah jika hari ini banyak yang mengatakan bahwa Indonesia 1/2
merdeka, sebab jika melihat di berbagai per-kotak-an kota, masih banyak yang
belum merasa dimerdekakan. Namun demikian, demi sebuah penghormatan kepada para
pahlawan Republik Indonesia yang begitu gigih dalam memperjuangkan Indonesia,
yang rela meninggalkan istri dan anak-anaknya, keluarga yang dicintainya,
semuanya dikorbankan, sekalipun nyawanya, demi sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar