Pendidikan adalah hak asasi manusia yang sekaligus sarana untuk
merealisasikan HAM lainnya. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa
dan anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat
dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk turut terlibat dalam
komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam rangka memberdayakan
perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual, dan
mempromosikan HAM dan demokrasi.
Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban
memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan
melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban untuk
menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam
hal dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk
memenuhi mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif,
administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai
guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
Komitmen bangsa Indonesia terhadap pendidikan dengan
sangat jelas tercermin pada konstitusi negara, UUD 45, khususnya Pasal 31, yang
menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Ayat 1) dan
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib
membiayainya (Ayat 2). Skema pembiayaan pendidikan oleh pemerintah tersebut
diatur pada ayat 4 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu, pada ayat 5 juga ditegaskan bahwa
pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia. Landasan konstitusional komitmen pendidikan inilah
yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat yang
terbaik bagi sistem pendidikan nasionalnya melalui berbagai kebijakan dalam
bidang pemerintahan dan pembangunan, termasuk kebijakan otonomi daerah.
Kebijakan Otda memang merupakan bagian integral dari
program reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh, tetapi
pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di
dalamnya. Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, adalah
salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah sehingga kebijakan
Otda tidak hanya menjadi titik tolak reformasi bidang sosial dan politik,
tetapi juga menjadi titik tolak reformasi sistem pendidikan nasional.
Tokoh-tokoh reformasi telah menjadikan kebijakan Otda sebagai titik tolak bagi
bangsa Indonesia untuk membangkitkan kembali kesadaran bangsa ini akan arti
penting pendidikan bagi upaya membangun tatanan kehidupan bangsa yang lebih
bermutu, demokratis, dan berdaulat agar dapat merespons tiga isu utama yang
dihadapi oleh bangsa ini dalam memasuki abad dua puluh satu, yaitu meningkatkan
keamanan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memberdayakan
pendidikan sebagai komponen krusial dalam pembangunan sumber daya manusia.
Ada tiga faktor utama yang menghambat upaya
rekonstruksi kultural dan renovasi sistem pendidikan nasional sesudah
proklamasi kemerdekaan.
1.
Lambatnya kegiatan memodernisasi sistem politik untuk menjadi lebih dewasa
dan otonom. Sistem politik ini menentukan sangat lambatnya corak kebijakan
pendidikan yang cocok bagi bangsa kita yang baru mencapai kemerdekaan.
2.
Sulitnya mengubah mental kebanyakan pemimpin kita yang lama mengalami
proses penindasan dan tekanan di zaman kolonial. Yaitu dari kebiasaan
bergantung/dependensi, diserai kompleks minder dan keraguan, kecemasan dan
ketakutan akan kemerdekaan diri sendiri.
3.
Sulitnya membangkitkan élan perjuangan penuh vitalitas dan daya kreatif
massa rakyat guna membangun, disebabkan oleh pengalaman historis di masa lampau
dan sekarang (misalnya oleh kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan;
apatisme, kurang percaya diri, skeptisisme, fatalisme, sikap kurang percaya
pada banyak pemimpin, dan lain-lain).
Semua harapan, tujuan, dan target pembangunan
pendidikan di era otonom daerah diharapkan terwujud melalui empat strategi
pokok pembangunan pendidikan nasional sebagaimana diuraikan satu per satu
berikut ini.
Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan
pendidikan. Semua warga negara Republik Indonesia diberi akses pendidikan yang
sama, apa pun tingkat ekonomi mereka, di mana pun tempat tinggal mereka, dan
apa pun latar belakang sosial mereka.
Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan
pembangunan. Salah satu konsep yang digunakan dalam penetapan strategi ini
adalah konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara materi ajar
(curriculum content) dengan kebutuhan di lapangan (job market). Penerapan
konsep link and match diharapkan dapat melahirkan para lulusan yang memiliki
jenis ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja sehingga ketika
lulus mereka “siap bekerja”. Namun, ada kecenderungan dikalangan praktisi
pendidikan untuk memahami bahwa yang dibutuhkan oleh para lulusan pendidikan
adalah ketrampilan kerja. Semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan diarahkan
pada upaya pemberian ketrampilan kerja kepada peserta didik, tanpa memberikan
perhatian yang cukup pada aspek-aspek non ketrampilan, seperti kepribadian dan
etika. Akibatnya, banyak para lulusan tersebut terampil bekerja, tetapi kurang
memiliki kepribadian dan sikap yang diperlukan untuk sukses bekerja. Banyak di
antara mereka yang sangat terampil dan penuh Dedikasi dalam bekerja, tetapi
kurang memiliki moralitas kerja yang baik.
Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan.
Penerapan strategi ini dimulai pada jenjang sekolah dasar, yaitu dengan
mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) dengan pendekatan gugus
sekolah. Tiga hingga delapan sekolah dasar yang lokasinya berdekatan
dikelompokkan dalam satu gugus, lalu salah satu sekolah ditunjuk sebagai
sekolah inti dan yang lainnya menjadi sekolah imbas.
Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan
pendidikan. Hingga tahun 1998 atau saat runtuhnya rezim orde baru, program
pembangunan pendidikan lebih terfokus pada aspek kuantitas. Pada era otonomi
daerah, program-program pembangunan pendidikan sudah mulai terfokus pada aspek
kualitas, relevansi, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan aspek kuantitas.
Lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi
didorong untuk mengembangkan program-programnya secara sangat efisien.
Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi,
dan globalisasi, berbagai kebijakan pengelolaan pendidikan di era Otda
menekankan sinergi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya berkewajiban
“mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 10 UU Nomor 20 Tahun 2003); “memberi
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi” (Pasal 11 ayat 1); “menjamin
tersedianya dana guna Terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” (Pasal 11 ayat 2); ”memfasilitasi
satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk
menjamin Terselenggaranya pendidikan yang bermutu” (Pasal 41 ayat 3); “menjamin
Terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya (Pasal 34 ayat 2); “membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
(Pasal 44 ayat 1); dan ”membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (Pasal 44 ayat 3).
Kebijakan pada era Otda juga menekankan pentingnya domain lokal dalam
pengembangan program-program pendidikan. Ditegaskan pada Pasal 50ayat 4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
“pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengolah satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal”. Sejalan dengan kewajiban ini, pemerintah dan
pemerintah daerah diharapkan dapat bersinergi dalam melengkapi sarana dan
prasarana pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah. Hal
ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, bahwa
“pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan,
pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain
untuk memfasilitasi kinerja dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan
menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat”
(Pasal 14). Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan berperan sebagai motivator,
stimulator, dan fasilitator perkembangan ilmu pengetahuan di daerah. Pasal 20
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 menegaskan sebagai berikut : ” Pemerintah
daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan
fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi
unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di
wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi”.
Peran dan fungsi pemerintah daerah dalam membangun
keunggulan lokal dalam dunia pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu
pengetahuan di daerah benar-benar diperluas. Pemerintah daerah “wajib
merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002).
Pemerintah daerah “harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan
oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi” serta “membentuk Dewan
Riset yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002). Berbagai kewajiban
pemerintah daerah tersebut juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa salah satu urusan wajib pemerintah
provinsi adalah “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial” (Pasal 13) dan salah satu urusan wajib pemerintah kabupaten dan kota
adalah “Penyelenggaraan pendidikan” (Pasal 14).
Pemerintah
Daerah sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan di daerahnya
memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan
masyarakat khususnya masyarakat di daerahnya. Dengan tercapainya tingkat pendidikan
yang tinggi di suatu daerah akan berimplikasi pada berkembangnya pembangunan di
daerah tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa dengan dengan tingkat pendidikan
yang tinggi maka akan berjalan searah dengan tingginya sumberdaya manusia di
daerah tersebut. Karena dalam hal ini dalam pembangunan selain sumber daya alam
diperlukan juga sumber daya manusia yang tinggi.
Pembangunan di
daerah merupakan tanggung jawab masyarakat di daerahnya baik dengan mengelola
sumber daya alam maupun meningkatkan sumberdaya manusia, dalam hal ini melalui
pendidikan. Semua ini akan dapat tercapai ketika pemerintah daerah sebagai
lembaga yang berwenang menyelenggarakan rumah tangga daerahnya memiliki
tanggung jawab yang tinggi dalam hal peningkatan kualitas sumberdaya manusia
melalui pendidikan. Untuk itu pemerintah daerah harus mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar