Paling sulit memeriksa kesalahan diri adalah ketika kita masih tetap dalam
pendirian bahwa kita melakukan semuanya dengan benar. Ketika kita selalu
melakukan pembelaan terhadap semua kesalahan yang pernah dibuat, sebenarnya
kita telah mengubur semua kesalahan pada diri kita. Tidak ada kesalahan yang
pernah dibuat, tak ada kekeliruan dalam segala proses yang kita jalanani, dan
untuk mewujudkan mimpi ideal di masa mendatang, tak ada yang perlu diperbaiki
kecuali bahwa kita harus terus menempuh jalan yang selama ini telah ditempuh.
Ini sebuah bentuk kebebalan luar biasa. Bahwa kita masih tak bergeming dengan
apa yang kita lakukan. Yakni kita adalah orang benar.
Pemikiran semacam ini berasal dari pola berpikir yang sempit, tapi kita
pandang sebaliknya. Kian hari kita menganggap semakin dewasa, yang dengan
sendirinya semakin sedikit pula kesalahan yang kita buat. Apa lagi ketika
kedewasaan itu telah membuahkan hasilnya berupa kesuksesan dalam harta,
kesuksesan dalam pergaulan, dan kesuksesan dalam berumahtangga. Dengan
mengaggap bahwa kita semakin jarang dari kemungkinan berbuat salah, justru saat
itulah kita lengah, dan merupakan pintu yang terbuka lebar untuk terjadinya
kesalahan-kesalahan baru.
“Saya harus berubah menjadi lebih baik.” Pernyataan seperti itu
mengandaikan adanya masa lalu yang tidak baik. Berubah ke arah yang lebih baik
berarti meninggalkan arah yang buruk. Tetapi, bagaimana kita berubah kalau kita
menganggap tidak ada kesalahan di sana. Tak ada sesuatu yang perlu diperbaiki dan
dikoreksi. Kita tidak mungkin berubah dengan cara berpikir seperti itu.
Pertama-tama yang harus dilakukan, adalah bukan mencari kembali kesalahan
yang selama ini telah diperbuat, akan tetapi mengakui bahwa selama ini kita
tidak bisa lepas dari berbagai kesalahan. Artinya, kesalahan hidup kita telah
banyak, hanya saja, sedikit dari kesalahan itu yang kita akui sebagai kesalahan
yang sebenarnya. Intinya, kita tidak akan maju tanpa mengakui kesalahan, dan
bukan dengan cara menemukan kesalahan.
Sama seperti hari ini, ketika aku mulai ragu terhadap semua argumentasi
yang kubangun untuk membenarkan diriku ketika terjadi perselisihan dengan
kekasihku. Melani, perempuan itu, selalu dengan sabar mendengarkan kemarahanku,
seringkali dengan amat sabar hingga dia tidak mampu lagi meneteskan air mata.
Jika aku mencari-mencari kesalahan dalam diriku, pastilah aku menemukan
beberapa; bahwa aku sering marah besar untuk hal-hal kecil, bahwa aku sering
memaksakana kehendak dan egoku, bahwa aku membungkus semua anggapan itu dengan
argumen yang seolah-olah benar.
Kemarahanku padanya tanggal 2 Februari merupakan kemarahan terbesarku
selama aku menjalani kehidupan dengannya. 1 Desember aku mengikat hubungan itu,
dan hingga saat ini, aku telah 6 kali memarahi dia habis-habisan. Semuanya
sama, untuk hal sepele yang seharusnya bisa kutahan.
Seperti biasa, dia selalu mengalah. Tidak berbuat apa, tetap dengan harapan
yang terus dipelihara dalam hati lembutnya bahwa aku akan berubah menjadi lebih
baik.
Setiap aku marah, aku memang merasakan penyesalan, jujur harus akui itu.
Tapi kadang egoku berkomplot dengan logikaku untuk membikin alasan serasional
mungkin agar kemarahan itu tidak tampak sebagai kesalahan. Bukan saja orang
lain yang tertipu dengan cara ini, tapi diriku ikut tertipu juga. Maka, yang
terjadi kemudian adalah serangkaian kemarahan yang tampak benar dan sah,
sehingga diapun merasa kalau salah dan pantas dihukum olehku.
Muna, maafkan aku. Engkau wanita paling sabar karena selalu mengalah ketika
aku marah, sementara kamu, tidak kupikirkan bagaimana hancurnya perasaan kamu
waktu aku marah. Mafkan aku, maafkan aku. Ya Tuhan, bantulah aku mengubah
diriku. Aku benar-benar butuh berubah...............
Alam
Pembebasan 17/02/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar